ORBIZ Logo
thumbnail

4 Survival Guides di Digital Agency yang Toxic

Category
Employee Empowerment
Publish Date
11 September 2025

Pengen resign aja lah, udah nggak tahan lagi

Kalau kamu kerja di digital agency Indonesia, pasti ada momen ketika rasanya ingin menyerah. Jam 2 pagi layar laptop masih nyala, dan tanpa sadar jari-jari sibuk mengetik draft resignation di notes HP.

Welcome to the club. Kita semua pernah ada di titik itu. Industri ini memang terkenal dengan turnover rate yang tinggi. Sebelum mengajukan resign, coba tahan sebentar. Ada baiknya kita coba strategi lain untuk survive di dalamnya. Kadang yang kita butuhkan bukan keluar, namun menemukan cara kerja yang lebih smart.

  1. Boundaries ≠ Red Flag

    Di agency, seringkali tipis bedanya antara “fleksibel” dan “24/7 standby”. Brief masuk jam 9 malam, revisi mendadak di akhir pekan, semua dianggap wajar karena “industri kreatif memang begini.”

    Padahal menjaga batasan itu bukan tanda kurang dedikasi melainkan bagian dari profesionalitas. Coba komunikasikan kapasitas sejak awal project.

    Pak, saya bisa handle ini, tapi kalau timeline sepadat ini saya akan fokus ke A dan B agar hasil maksimal. Apabila semuanya urgent, mungkin hasilnya tidak optimal. Bagaimana kalau kita prioritaskan yang paling kritikal dulu?

    Salah satu senior creative di Jakarta bahkan selalu menambahkan buffer 20% dalam setiap proposal timeline. Hasilnya? Klien lebih menghargai, dan revisi mendadak jauh berkurang.

  2. Be the MVP Without Burnout

    Pernah merasa seperti robot? Brief masuk, eksekusi, selesai. Ulang lagi. Lama-lama kehilangan motivasi karena tidak ada tantangan. Budaya kerja kreatif yang sehat bukan sekadar “do what's asked” tapi juga “give useful input.” Contoh sederhana:

    Daripada mengatakan:

    Pak, ads-nya sudah jalan,

    Coba ganti dengan:

    Pak, ads sudah jalan. Dari hasil awal, creative dengan testimonial perform 40% lebih baik daripada yang hanya visual produk. Apakah kita mau scale opsi ini atau eksplor lebih banyak angle testimonial?

    Dengan begitu, kamu terlihat bukan hanya sebagai eksekutor, tapi juga problem-solver. Posisi kamu bisa naik level jadi orang yang dipercaya untuk memberi insight berharga, baik untuk klien maupun agency.

  3. Office Politics 101: Be Strategic, Not Petty

    Kadang, internship atau masa awal kerja di agency terasa seperti di Hunger Games. Semua berlomba jadi yang paling produktif atau paling kreatif. Padahal, orang yang paling survive biasanya bukan yang paling kompetitif, tapi yang paling suportif.

    Tips praktis: tawarkan bantuan ke tim lain, share tools berguna di grup internal, atau cukup jadi pendengar yang baik ketika kolega kesulitan.

    Dalam banyak kasus, orang yang cepat naik level justru adalah mereka yang paling bisa diandalkan, bukan yang paling ribut soal prestasi.

  4. Test the Water: Ngobrol Jujur sama Atasan

    Banyak orang resign karena tidak tahu jenjang kariernya akan seperti apa. Kadang manajemen pun tidak sadar kalau kamu sebenarnya ingin berkembang.

    Coba komunikasikan di momen yang tenang. Tidak perlu drama, cukup tanyakan arah dan peluang untuk bertumbuh. Fokusnya bukan di keluhan, tapi komitmen untuk kontribusi lebih. Kalau responnya jelas, good for you! Tapi kalau hanya digantung atau diberi mixed signals, mungkin saatnya pertimbangkan pilihan lain.

  5. Warning Sign: Saatnya Benar-Benar Cabut

    Kalau setelah 2-3 bulan mencoba strategi di atas situasinya tetap sama, wajar kamu akhirnya memutuskan untuk pindah. Ada beberapa red flags di dunia kerja yang hampir mustahil diubah, seperti manajemen yang consistently unrealistic, budaya toxic yang mengakar, atau tidak ada kesempatan untuk berkembang.

Industri kreatif memang penuh tantangan, tapi dengan strategi yang tepat kami percaya kamu tetap bisa berkembang tanpa kehilangan semangat. Di Orbiz, kami berkomitmen membangun budaya kerja yang sehat dan mendukung orang-orang kreatif untuk terus menghadirkan solusi digital yang relevan dan berdampak.